A.
Pengertian syirik
Syirik adalah itikad ataupun perbuatan yang
menyamakan sesuatu selain Allah dan disandarkan pada Allah dalam hal rububiyyah dan uluhiyyah.
Umumnya, menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah yaitu hal-hal yang merupakan
kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah, atau memalingkan
suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo'a dan
sebagainya kepada selainNya.
B.
Bentuk-bentuk syirik
1.
Syirik besar
Syirik
besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di
dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat kepada Allah. Syirik
besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti
berdo'a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan
penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin
atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang tidak kuasa memberikan
manfaat maupun mudharat.
Bentuk-bentuk
syirik besar:
- Syirik Do'a, yaitu di samping dia berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, ia juga berdo'a kepada selain Nya.
- Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan, yaitu ia menunjukkan suatu ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.Syirik Ketaatan, yaitu mentaati kepada selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah.
- Syirik Mahabbah (Kecintaan), yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan.
2.
Syirik kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama
Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (perantara) kepada
syirik besar.
Bentuk bentuk syirik kecil:
- Syirik Zhahir (Nyata), yaitu syirik kecil yang dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan nama selain Allah. Rasulullah bersabda:
Dalam
sebuah riwayat hadits:
Ada
seorang Yahudi yang datang kepada
Nabi Muhammad,
dan berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Kamu
mengucapkan: Atas kehendak Allah dan kehendakmu dan
mengucapkan: Demi Ka'bah. Maka Nabi Muhammad memerintahkan para sahabat apabila hendak
bersumpah supaya mengucapkan, Demi Allah Pemilik Ka'bah dan
mengucapkan: Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu — HR. An-Nasa'i (VII/6)
dan Amalul Yaum wal Lailah (No. 992), Al-Hafizh Ibnu Hajar r.a berkata dalam Al-Ishaabah (IV/389), "Hadits ini shahih, dari Qutailah r.a, wanita dari Juhainah r.a.
Syirik dalam bentuk ucapan, yaitu perkataan."Kalau
bukan karena kehendak Allah dan kehendak fulan". Ucapan tersebut
salah, dan yang benar adalah."Kalau bukan karena kehendak Allah,
kemudian karena kehendak si fulan". Kata kemudian menunjukkan
tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak
Allah.
- Syirik Khafi (Tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya' (ingin dipuji orang) dan sum'ah (ingin didengar orang) dan lainnya.
Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik
kecil. "Mereka (para sahabat) bertanya: "Apakah syirik kecil itu, ya
Rasulullah?"
C. Penyebab terjadinya syirik pada manusia
1.
Berlebih-lebihan dalam memuji Rasul atau memuji
orang shaleh.
Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah
memperingatkan akan hal itu dalam sabda beliau :“Janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nashrani
berlebih-lebihan dalam memuji Isa anak Maryam, sesungguhnya saya hanyalah
seorang hamba. Maka katakanlah hamba Allah dan rasul-Nya”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Jika berlebih-lebihan dalam memuji Nabi adalah sesuatu
yang terlarang, tentu lebih terlarang lagi jika berlebihan dalam memuji selain
beliau dari orang-orang shaleh atau yang lainnya. Dan hal inilah yang merupakan
penyebab kesyirikan pertama dalam kehidupan umat manusia, yaitu pada umat Nabi
Nuh ‘Alaihissalam, sebagaimana yang diceritakan Allah dalam firman-Nya :
“Dan mereka berkata ; Jangan sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kami
meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan
Nashr”. (QS. Nuh : 23)
Ibnu
Abas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan : Kelima nama ini adalah nama
orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Maka tatkala mereka
(orang-orang shaleh) itu wafat, syetan mempengaruhi kaum Nabi Nuh agar membuat
patung-patung mereka di majelis yang biasa mereka duduk padanya dalam rangka
mengingat orang-orang shaleh tersebut, dan syetan juga mempengaruhi mereka agar
memberikan nama patung tersebut sesuai dengan nama orang-orang shaleh itu, maka
merekapun melakukannya. Ketika itu patung-patung itu belum disembah. Akan
tetapi ketika orang-orang yang membuat patung tersebut meninggal dunia dan ilmu
agama telah hilang maka patung-patung itupun disembah. (HR. Bukhari 8/667 dan
lihat tafsir Ibnu Katsir)
Berlebih-lebihan
dalam memuji Rasul atau orang-orang shaleh adalah dengan menempatkan mereka
sejajar dengan Allah, baik dalam pujian ataupun keyakinan akan sifat dan ilmu
mereka, beristighatsah (meminta perlindungan) kepada mereka ketika tertimpa
bencana, tawaf dikuburan mereka, tabarruk (mencari berkah) dari kuburan atau
barang-barang peninggalan mereka, bertawassul (menjadikan perantara) dengan
mereka dalam do’a, menyembelih di kuburan-kuburan mereka dengan tujuan untuk mendekatkan
diri kepada mereka, berdo’a dan meminta tolong kepada mereka padahal mereka
telah meninggal dunia dan lain sebagainya.
Sebagian
orang mengatasnamakan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai wujud kecintaan
kepada Nabi atau orang-orang shaleh dan ini adalah anggapan yang keliru lagi
menyesatkan, justru perbuatan ini adalah kesyirikan yang sangat nyata yang
telah diperingatkan Allah dan rasul-Nya.
Mencintai
Nabi dan orang shaleh pada hakikatnya adalah sesuai dengan apa yang telah
diajarkan Al-Quran dan Sunnah serta apa yang telah dicontohkan oleh para
salafus-Shaleh, yaitu dengan mengetahui keutamaan-keutamaan mereka dan
mencontoh mereka dalam amal shaleh, tanpa meremehkan atau berlebih-lebihan
terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a ; Ya Rabb kami, ampunilah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah
engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman,
Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha penyayang”. (QS.
al-Hasyr : 10)
2.
Ta’ashshub
(fanatisme)
Fanatik
terhadap tradisi dan peninggalan nenek moyang, walaupun itu bathil dan
bertentangan dengan yang hak khususnya dalam masalah aqidah.
Allah
berfirman dalam Al-Quran :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah. Mereka menjawab , (tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah
kami dapati dari nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga)
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak
mendapat petunjuk”. (QS. al-Baqarah : 170)
Dalam
ayat yang lain Allah juga berfirman :
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorangpun sebagai
pemberi peringatan dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah
(para pembesar) di negeri itu berkata ; Sesungguhnya kami mendapatkan
bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah mengikuti
jejak-jejak mereka”. (QS. az-Zukhruf : 23)
Hal
inilah yang tertanam pada diri kaum musyrikin dari zaman dahulu sampai
sekarang, dimana mereka sangat fanatik kepada peninggalan dan adat istiadat
nenek moyang, dan karena itu mereka tidak segan-segan untuk berpaling dan
menepis kebenaran yang bersumberkan kepada Al-Quran dan sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, bahkan ada juga diantara mereka yang menyalahkan kebenaran
tersebut dengan berbagai dalih dan sebutan, seperti aliran baru, menyelisihi
tradisi, memecah belah umat, membuat resah dan sebagainya.
Sehingga
kita akan menemukan kisah para nabi dan rasul dalam al-Quran, dalam menghadapi
kaum mereka sering berhadapan dengan orang-orang yang berwatak seperti ini,
seperti kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam dengan kaumnya dalam surat Al-Mukminun :
23 dan 24, kaum Nabi Shaleh dalam surat Hud : 62, kaum Nabi Ibrahim dalam surat
as-Syura : 73, kaum musyrikin jahiliyah dalam surat Shad : 6 dan 7 serta
kisah-kisah yang lainnya.
Maka,
sudah sewajarnya para ulama dan para da’i yang menyeru umat kepada risalah
tauhid juga akan mengalami hal yang serupa, akan mendapat tantangan dan kecaman
dari orang-orang yang begitu fanatik kepada peninggalan dan ajaran nenek moyang
kendatipun hal tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Dan dari kefanatikan
inilah akhirnya timbul sikap menentang dan berpaling dari kebenaran yang
kemudian akan berujung kepada kesyirikan.
Mungkin
saja alasan mereka untuk tetap pada ajaran nenek moyang walaupun bertentangan
dengan kebenaran adalah karena rasa penghormatan kepada leluhur dan sesepuh
mereka, sehingga jika kita tidak menjalankan seperti apa yang ada pada mereka
seolah-olah ada rasa penentangan dan meremehkan mereka, bukankah dalam Islam
kita diperintahkan untuk patuh dan menghormati orang tua ?
Dalih
ini mungkin dapat kita jawab dengan firman Allah Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan
rasul-Nya, dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. (QS. Al-Hujurat : 1)
Dan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Tiga hal yang jika ada pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya
iman, hendaklah Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai dari yang lainnya ……”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dan
sabda beliau :
“Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta”.
(HR. Muslim)
Dari
ayat dan hadits di atas jelaslah bagi kita bahwa barometer dalam kebenaran yang
mesti kita ikuti adalah Allah dan rasul-Nya, bukan perasaan dan hawa nafsu,
sekaligus menunjukkan kebathilan dalih dan alasan yang mereka kemukan.
3. Kebodohan terhadap aqidah yang benar
Keengganan
untuk mempelajari atau mengajarkan aqidah yang benar atau sangat sedikitnya
perhatian terhadapnya, maka akan melahirkan generasi yang tidak mengenal aqidah
yang benar tersebut serta tidak menyadari kedudukannya dalam kehidupan mereka,
atau mereka tidak lagi mengetahui hal-hal yang menyelisihinya dan
membatalkannya. Sehinga pada akhirnya mereka tidak lagi dapat membedakan yang
hak dengan yang bathil, atau bahkan meyakini yang bathil itu hak dan yang hak
itu adalah suatu kebathilan, Allahul Musta’an.
Amirul
mukminin Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan bahwa : Sesungguhya
nilai-nilai keislaman itu akan dicabut sedikit demi sedikit, jika di dalam Isla
tumbuh dan berkembang orang-orang yang tidak mengenal jahiliyah.
Oleh
karena itu agama kita mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu dan
memberantas kebodohan, mengenal yang hak agar mereka dapat mengikutiya
sekaligus mengetahui yang bathil agar mereka dapat membentengi diri darinya.
Maka
kebodohan adalah awal dari kebinasaan, karena kebodohan seseorang akan jauh
dari jalan Allah, karena kebodohan seseorang akan berpaling dari agama Allah,
karena kebodohan seseorang akan terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa, karena
kebodohan seseorang akan tenggelam dalam kesyirikan, karena kebodohan …..,
karena kebodohan …
Mungkin
seseorang akan mengatakan : bukankah Allah tidak menghukum seseorang jika ia
bodoh (tidak mengetahui) ? Kita bisa menjawabnya dengan mengatakan : Benar,
tetapi bukankah Allah dan rasul-Nya memerintahkan kita untuk tau. Apa yang anda
katakan benar adanya jika anda telah berusaha, namun jika hal tersebut setelah
ada usaha atau berada di luar kemampuan anda, karena Allah berfirman : “Allah
tidak membebani kecuali apa yang mereka mampu untuk memikulnya” (QS. al-Baqarah
: 286)
Dan
lihatlah bagaimana Allah kelak akan membantah apa yang diungkapkan oleh orang-orang
yang beralasan bahwa mereka telah dibodohi oleh nenek moyang mereka sementara
mereka tidak tahu, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-A’raf : 38.
Inilah
beberapa sebab pokok yang menyebabkan timbulnya kesyirikan yang telah
diperingatkan oleh Allah dan rasul-Nya kepada kita semua agar kita dapat
menjauhinya dalam kehidupan kita, karena kesyirikan tersebut adalah dosa besar
yang dapat membuat seseorang keluar dari agama Islam dan menjadikan pelakunya
kekal di dalam api neraka, Nas-alullah as-Salamah Wal ‘Afiyah.
D. Tindakan Rasulullah Dalam Menangkal Syirik
Syirik itu menyekutukan Allah. Menyekutukan Allah
adalah dosa besar yang paling besar, setiap orang yang meninggal diatas
kesyirikan kekal di neraka selama lamanya.
Sementara,
Rasulullah shallallahu 'alaihi was sallam sangatlah menyayangi umatnya, sangat
ingin agar kita terhindar dari kesyirikan. Karena itulah Rasulullah shallallahu
'alaihi was sallam berupaya menutup pintu-pintu kesyirikan, dengan cara sebagai
berikut :
- Beliau melarang kita dari melakukan perbuatan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
- Larangan menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied (tempat yang didatangi berulang-ulang).
- Larangan bersafar menuju tempat yang dianggap berkah kecuali tiga masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar